>PELAYANAN MAHASISWA PANTEKOSTAK KOMISI UNIMA sbg ImageChef Custom Images

Senin, 25 November 2013

renungan harian

1 Korintus 10-13


Ludy melahirkan anak kami melalui operasi caesar. Selama beberapa hari ia menahan rasa sakit yang sangat nyeri. Ia juga mesti sering bangun pada malam hari untuk menyusui si kecil. Akibatnya, ia sering kelelahan karena kurang istirahat. Tetapi, ia sama sekali tidak mengeluh. Ia selalu memandang bayi kami dengan mata yang bersinar penuh kebahagiaan dan kebanggaan.

Memang sudah lazim bagi kasih untuk berkurban (Yoh. 15:13). Ciri-ciri orang yang mengasihi adalah memiliki kesenangan yang meluap kepada pihak yang ia kasihi. Allah senang akan ciptaan-Nya. Kasih Allah merupakan salah satu kenyataan besar yang terdapat di alam semesta ini, suatu tiang sandaran harapan dunia. Tetapi, kasih-Nya itu juga merupakan sesuatu yang intim dan pribadi. Allah bukan mengasihi penduduk dunia secara massal, tetapi juga mengasihi setiap manusia pribadi demi pribadi. Dia mengasihi kita semua dengan kasih yang besar, kasih yang tidak berawal dan tidak berakhir.

Julian dari Norwick berkata, “Jiwa kita secara istimewa begitu dikasihi oleh Dia sehingga kasih-Nya berada di luar jangkauan pengetahuan segala makhluk. Itu berarti bahwa dari segala makhluk ciptaan-Nya tidak ada satu pun yang dapat mengetahui betapa besar, betapa manis, dan betapa mesranya Sang Pencipta mengasihi kita.” Karena itulah Dia telah mengurbankan Anak-Nya untuk kita. Dan Dia mengharapkan kita melakukan hal yang sama. Kasih memotivasi kita untuk berkurban demi kesejahteraan orang yang kita kasihi.—PRB
KASIH TIDAK MENUNTUT KEPENTINGAN DIRI SENDIRI,
MELAINKAN SENANTIASA MEMBERI DEMI KESEJAHTERAAN ORANG LAIN

Rabu, 20 November 2013

Baca: Lukas 15:11-32 Anak sulung itu marah dan ia tidak mau masuk. (Lukas 15:28) Bacaan Alkitab Setahun: Roma 4-7 Spontan kita akan menjawab: si bungsu. Ia meminta warisan kala sang ayah masih hidup, meninggalkan rumah, menghamburkan harta dalam pesta pora, memiskinkan diri, dan menggerogoti keluhuran martabatnya sebagai manusia. Lalu, saat tersadar akan kondisinya, ia terseok pulang, dan sang ayah menyambut dan memeluknya. Ya, si bungsulah si anak terhilang. Benarkah? Bisa jadi. Namun, jika kita menilik lagi kisahnya dengan baik, kita akan menemukan alternatif lain. Bukankah si bungsu yang kurang ajar ini akhirnya kembali ke dalam pelukan Bapa yang penuh kasih dan penerimaan? Sebaliknya, bukankah si sulung masih terus bergumul dengan kemarahannya hingga cerita berakhir? Bukankah ia tak mampu mengasihi adiknya seperti diteladankan sang ayah? Bukankah ia, karena merasa diperlakukan tidak adil, kehilangan kepekaan bahwa segala milik ayahnya adalah miliknya pula? Tidakkah si sulung sejatinya juga "hilang"? Jadi, siapa yang sebenarnya hilang dari kasih Tuhan? Jawabannya tergantung dari sikap batin dan sikap hidup orang terhadap kasih Tuhan yang lestari bak mentari. Bila orang mau membuka mata hati dan mengarahkan hidup kepada kasih Tuhan, sejauh apapun ia tersesat, ia dapat kembali pulang. Bila hati mati dan hidupnya beku dan kaku, sedekat apapun seseorang dengan Tuhan, bisa jadi ia tak tahu jalan menuju Tuhan, dan tersesat di tengah "terang" hari. Siapakah kita? Si bungsu atau si sulung? Siapapun kita, marilah pulang. Pulang ke dalam kasih Tuhan. Pulang ke lubuk hati-Nya.—DKL KELEMBUTAN HATI BAPA MENGUNDANG KITA UNTUK PULANG. MAUKAH KITA MENGHAMBUR KE DALAM HANGAT PELUKAN-NYA?

Minggu, 17 November 2013

@Renungan minggu

Renungan Harian << Minggu, 17 November 2013 >> Bacaan: Yohanes 4:1-26 Bacaan Setahun: Kisah Para Rasul 23-25 Nats: Tetapi Ia harus melintasi daerah Samaria. (Yohanes 4:4) "SEEKOR SAPI" Di sebuah desa bersalju, terdapat sebuah gereja. Pada suatu hari Minggu yang sangat dingin, hanya pendeta dan seorang petani yang datang untuk beribadah. Setelah beberapa saat, tetap tak ada lagi jemaat yang datang. Maka, pendeta berkata, "Yah, tampaknya hari ini tidak akan ada kebaktian." Namun, petani yang sudah siap beribadah itu memprotes, "Pak Pendeta, menurut pengalaman saya, bila hanya ada satu sapi saya yang datang pada jam makan, saya tidak membiarkannya--saya tetap memberinya makan." Saking ia rindu mendapat makanan rohani, si petani mengibaratkan dirinya sebagai "seekor sapi yang butuh diberi makan". Terkadang orang menganggap bahwa pelayanan massal lebih efisien daripada pelayanan pribadi. Kadang anggaran pelayanan yang dikeluarkan dianggap tak sepadan bila jumlah orang yang dilayani tak seberapa. Ternyata ini berbeda dengan pandangan Yesus. Semasa Yesus berada di dunia, Dia menunjukkan bahwa kadang ada pribadi-pribadi yang butuh dilayani secara khusus. Seperti perempuan Samaria ini. Ketika Yesus kembali ke Galilea, Dia memilih jalur yang umumnya tak akan dipilih orang Yahudi, karena mereka tak mau bertemu dengan orang Samaria. Namun, Yesus sengaja ke sana untuk menjumpai satu perempuan berdosa yang sangat membutuhkan pengampunan dan pembaruan hidup dari-Nya. Kita diingatkan untuk melayani pribadi demi pribadi yang Tuhan pertemukan dengan kita. Bila ada orang yang dahaga akan Yesus, mari khususkan waktu dan diri untuk menolongnya agar bertemu Tuhan. -- * * * BILA TUHAN MENUNJUKKAN SATU JIWA YANG DAHAGA, BERSIAPLAH MEMBAWANYA PADA SUMBER AIR KEHIDUPAN.

Kamis, 14 November 2013


Baca: Kejadian 4:1-16

Dosa sudah mengintip di depan pintu; ia sangat menggoda engkau, tetapi engkau harus berkuasa atasnya. (Kejadian 4:6-7)


Bacaan Alkitab Setahun:
Kisah Para Rasul 17-19


Ketika pecandu pornografi terhubung dengan internet, biasanya ia langsung menekan mouse atau layar sentuh untuk mencari materi pornografi. Mungkin banyak situs lain yang bagus dan bermutu, tetapi pikiran pecandu terfokus pada rangsangan seksual yang didorong oleh hawa nafsu. Pecandu seolah tidak peduli lagi dengan bisikan nurani yang berusaha menahan tangannya, peringatan firman Tuhan yang pernah ia baca, atau nasihat yang pernah ia dengar.

Kegagalan mengendalikan diri sangat sering berawal dari pengabaian atas peringatan agar kita tidak berdosa. Itu juga yang dialami Kain. Tuhan mengetahui apa yang Kain rencanakan dalam hatinya. Namun, Tuhan tidak menghalangi Kain berdosa, tetapi memperingatkannya dengan kasih. Tampak dari peringatan tersebut bahwa dosa itu sedemikian menggoda, begitu kuat daya tariknya. Meskipun demikian, Kain diingatkan untuk tidak menyerah. Apa mau dikata, Kain menyerah terhadap keinginan dosa yang mendorongnya untuk membunuh Habel, adik kandungnya sendiri.

Begitu juga dengan perilaku para pecandu. Kejatuhan berulang pada dosa yang sama diawali oleh ketertarikan dan keinginan untuk melakukan kembali hal tersebut. Ketika keinginan itu dibiarkan berkembang, godaan pun semakin membesar dan kian sulit ditanggulangi. Kita lalu kehilangan kekuatan untuk menahan godaan tersebut (lihat Yakobus 1:15). Andai kita langsung menaati peringatan mula-mula yang muncul dari dalam hati, godaan itu niscaya akan lebih mudah diatasi.—HEM
KEJATUHAN BERULANG PADA DOSA YANG SAMA DAPAT DICEGAH
APABILA KITA MEMPERHATIKAN PERINGATAN PERTAMA

Selasa, 12 November 2013


Renungan Harian
<< Selasa, 12 November 2013 >>
Bacaan: Markus 8:31-38
Bacaan Setahun: Kisah Para Rasul 9-10
Nats: Enyahlah Iblis, sebab engkau bukan memikirkan apa yang dipikirkan Allah, melainkan apa yang dipikirkan manusia. (Markus 8:33)

ENYAHLAH IBLIS
"Enyahlah Iblis!" Ini perkataan amat keras yang mesti ditanggung oleh Petrus. Mengapa Yesus setega itu? Apakah tidak ada pilihan kata yang lebih halus? Begitu parahkah sikap Petrus itu? Bagi kita mungkin tidak serius, tetapi bagi Yesus sangat serius. Mengapa? Karena Petrus tidak berpikir seperti Yesus. Petrus hanya memikirkan kenyamanan pribadinya. Ia menolak ide salib sehingga ia mencegah Yesus berbicara tentang penderitaan.
Pemikiran Petrus ini nyatanya kita warisi pula. Kita mengaku percaya bahwa Allah menyediakan hidup kekal, tetapi kita lebih peduli pada kehidupan saat ini. Kita percaya bahwa Yesus adalah Penolong, tetapi kita lebih suka mengatur karier sendiri. Kita memutuskan mengikut Tuhan, tetapi kecewa saat mengalami penderitaan. Dalam banyak kesempatan kita kadang bersikap: "Aku akan berhasil karena percaya kepada Yesus", "Pencapaianku memberiku identitas", "Yesus akan menghargaiku karena aku rajin melayani-Nya". Singkatnya, kita menyamakan mengikuti Yesus dengan meraup kesuksesan, kenyamanan, ketenaran, atau kehormatan pribadi. Itulah sikap yang dihardik dengan keras oleh Tuhan Yesus.
Sebagai orang percaya, bagaimana sepatutnya kita bersikap? Kita mempersilakan Yesus Kristus menyatakan kehidupan dan sikap-Nya melalui hidup kita: sikap yang merendahkan diri, tidak mengutamakan kepentingan pribadi, melainkan rela berkorban dan, jika perlu, bersedia menderita demi memperjuangankan kesejahteraan bersama. Kita mengikuti jejak-Nya. --Piter Randan Bua
* * *
JALAN IBLIS ITU MENINGGIKAN DIRI.
SEBALIKNYA, JALAN TUHAN ITU MERENDAHKAN DIRI.