Ayat bacaan: Amsal 3:27
===================
"Janganlah menahan kebaikan dari pada orang-orang yang berhak menerimanya, padahal engkau mampu melakukannya."
Pada suatu hari teman baik saya meng-sms saya dan mengatakan bahwa ia
perlu meminjam uang yang jumlahnya tidak sedikit. Ketika saya tanya
untuk keperluan apa, ia hanya menjawab bahwa itu untuk sesuatu yang
penting. "Kalau tidak penting
gue gak bakalan minjem..
elo kan tau gimana
gue."
katanya. Pada saat itu saya sedang pas-pasan, tetapi saya memang kenal
betul sifatnya sehingga apabila ia meminjam, itu tentu untuk sesuatu
yang sangat penting. Setelah saya bicarakan kepada istri, akhirnya kami
berdua memutuskan untuk meminjamkan sesuai yang ia minta, meski
konsekuensinya kami harus mengirit betul pengeluaran setelahnya. Tidak
lama berselang, saya menerima kabar yang membuat saya sangat terpukul.
Sahabat baik saya meninggal dunia di sebuah rumah sakit di Jakarta.
Ternyata uang itu ia pinjam untuk biaya berobat dan opname. Ia berasal
dari keluarga
broken home, hanya ada ibu yang hidup
berkekurangan dan seorang kakak tiri yang biasanya justru hanya meminta
kepadanya meski sudah punya suami yang tidak bekerja. Sahabat saya ini
meninggal di usia 23 tahun, usia yang masih sangat muda. apa yang
membuat saya kaget adalah bahwa ia tidak pernah punya catatan menderita
penyakit apapun. Sehari-hari ia kelihatan baik-baik saja, tetap ceria
walau hidupnya tidak mudah. Dokter mengatakan bahwa ia meninggal karena
penyakit lever, tapi sejauh yang saya tahu ia bukan pemabuk dan bukan
pemakai obat-obat apapun. Sampai saat ini saya tidak tahu apa persisnya,
tetapi ia sudah tidak ada lagi. Saya merasa sangat kehilangan karena ia
adalah satu-satunya teman terdekat saya waktu itu. Meski demikian, saya
merasa lega sebab setidaknya sudah membantunya. Saya membayangkan entah
seperti apa rasa bersalah akan menghantui saya apabila pada waktu itu
saya memilih untuk menunda memberi pinjaman atau menolak.
Ada banyak orang yang lebih suka menunda-nunda untuk melakukan sesuatu.
Sifat ini sudah dibiasakan sejak masa-masa mengenyam pendidikan dengan
menunda belajar atau mengerjakan tugas-tugas. Lantas setelah bekerja,
mereka akan menunda menyelesaikan pekerjaan hingga mepet. Jika untuk
hal-hal seperti ini saja orang sudah terbiasa menunda, apalagi dalam hal
berbuat baik yang seringkali merupakan perbuatan tanpa imbalan apa-apa,
sebuah pekerjaan sukarela yang justru menyita waktu dan
pengorbanan-pengorbanan lainnya.
Salomo menyampaikan:
"Janganlah menahan kebaikan dari pada orang-orang yang berhak menerimanya, padahal engkau mampu melakukannya." (Amsal 3:27). Ayat selanjutnya berkata "Janganlah engkau berkata kepada sesamamu:
"Pergilah dan kembalilah, besok akan kuberi," sedangkan yang diminta ada padamu."
(ay 28). Kita sangat pintar mencari alasan untuk menghindari kewajiban
kita untuk menolong orang lain. Tidak punya cukup uang, belum sanggup
membantu dan sebagainya. Mungkin benar bahwa kita tidak berada dalam
kelimpahan alias pas-pasan, tetapi bukankah seringkali dengan jumlah
yang sedikit saja kita bisa memberi kelegaan kepada mereka yang tengah
membutuhkan? Atau bahkan sedikit perhatian dan kepedulian kita saja
sudah sangat membantu bagi mereka yang membutuhkan. Kata sanggup atau
tidak sering menjadi hal yang subjektif, karena pada satu sisi saya
melihat ada banyak pula orang yang hidup pas-pasan tetapi ternyata masih
mau berusaha untuk menolong orang lain. Sebaliknya di sisi lain ada
banyak juga orang yang kaya tetap saja merasa masih kurang, semakin
banyak hartanya malah semakin pelit dan sulit menolong orang lain.
Ketika kita bisa berbuat baik, sudah sepantasnya kita tidak
menunda-nunda untuk melakukan itu. Saya memberi contoh mengenai bantuan
secara finansial atau keuangan, tetapi berbuat kebaikan tidak hanya
berbicara mengenai itu melainkan bisa hadir lewat berbagai bentuk.
Perhatian, kasih sayang, kesabaran, dukungan moril, memberi
masukan/pertimbangan atau nasihat, meluangkan sedikit dari waktu kita
dan sebagainya, itupun merupakan bentuk dari kebaikan. Ketika kita
memiliki hal itu, meski sedikit, kita sudah bisa melakukan sesuatu yang
akan sangat bermakna bagi orang lain yang membutuhkannya, dan pada
situasi demikian kita tidak seharusnya menunda-nunda untuk melakukan
sesuatu. Untuk hal-hal diluar bantuan finansial kita pun pintar mencari
alasan. Tidak cukup mengerti, sedang sangat sibuk, tidak mau ikut campur
dan sebagainya, padahal alasan sesungguhnya adalah karena malas. Jangan
tunda untuk melakukan sesuatu untuk orang-orang yang membutuhkan,
jangan mengelak, jangan mengaku tidak mampu padahal kita sebenarnya tahu
bahwa kita mampu untuk melakukannya.
Kita harus sadar bahwa kita bukanlah diselamatkan OLEH perbuatan baik,
tetapi kita diselamatkan UNTUK melakukan perbuatan baik. Perbuatan baik
tidak menjamin keselamatan melainkan merupakan buah dari keselamatan
yang telah kita terima lewat Yesus Kristus. Surat Paulus kepada jemaat
Filipi pasal 2 juga memberi penekanan mengenai masalah kerelaan atau
kerendahan hati untuk mendahulukan kepentingan orang lain daripada diri
sendiri.
"..hendaklah dengan rendah hati yang seorang menganggap
yang lain lebih utama dari pada dirinya sendiri; dan janganlah tiap-tiap
orang hanya memperhatikan kepentingannya sendiri, tetapi kepentingan
orang lain juga." (Filipi 2:3b-4). Mengapa? Karena sebagai pengikut
Kristus kita seharusnya mencerminkan pribadi Kristus. Penghiburan
kasih, kasih mesra dan belas kasihan, itu semua ada dalam Kristus. (ay
1). Dan sebagai pengikut Kristus, kita seharusnya memiliki hati yang
sama sepertiNya juga. Kita melihat sendiri dbagaimana Yesus terus
bekerja untuk melakukan kehendak Bapa tanpa menunda-nunda sedikitpun.
Dia terus berjalan melakukan tugasNya hingga selesai, dan itulah yang
membawa keselamatan kepada kita. Jika Yesus melakukan seperti itu,
mengapa kita justru gemar menunda-nunda untuk melakukan kebaikan ketika
pada saat yang sama mengaku sebagai muridNya?
Kerelaan memberi/mengulurkan tangan untuk membantu sebagai salah satu
aspek dari perbuatan baik merupakan cerminan kedewasaan rohani kita.
Orang yang imannya dewasa akan terus berusaha memberi, sebaliknya yang
masih belum akan cenderung mengambil atau meminta. Lihatlah ayat
berikut:
"Dalam segala sesuatu telah kuberikan contoh kepada kamu,
bahwa dengan bekerja demikian kita harus membantu orang-orang yang lemah
dan harus mengingat perkataan Tuhan Yesus, sebab Ia sendiri telah
mengatakan: Adalah lebih berbahagia memberi dari pada menerima."
(Kisah Para Rasul 20:35). Orang yang sudah dewasa secara rohani akan
sampai kepada pemahaman bahwa memberi ternyata lebih membahagiakan
ketimbang menerima. Selanjutnya Alkitab mencatat perkataan Yesus seperti
ini:
"Aku memberikan perintah baru kepada kamu, yaitu supaya kamu
saling mengasihi; sama seperti Aku telah mengasihi kamu demikian pula
kamu harus saling mengasihi." (Yohanes 13:34). Yesus begitu
mengasihi manusia sehingga Dia rela menanggung segala dosa-dosa kita
untuk ditebus dengan cara yang sungguh luar biasa besar. Dia bahkan
memberikan nyawaNya untuk keselamatan kita.
"Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya." (Yohanes
15:13) kata Yesus, dan tidak sebatas wacana, Dia sudah membuktikan itu
secara langsung. Mengacu kepada firman Tuhan itu, seharusnya kita terus
berusaha untuk mencapai sebuah tingkatan seperti apa yang telah
dilakukan Yesus untuk kita, para sahabatNya. Jika nyawa kita pun
seharusnya siap untuk diberikan, mengapa kita sulit sekali untuk
mengeluarkan sedikit dari tabungan kita, usaha kita, tenaga atau
sebagian dari waktu kita untuk melakukan kebaikan bagi sesama?
Aspek memberi/melakukan kebaikan merupakan hal yang sangat penting di
mata Tuhan untuk kita lakukan. Begitu pentingnya hingga Tuhan berkata
"sesungguhnya
segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku
yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku." (Matius
25:40). Kita tidak akan pernah mampu membayar kebaikan Tuhan dengan
harta milik kita, berapapun besarnya. Tapi apabila kita ingin membalas
kebaikan Tuhan, Alkitab mengatakan bahwa kita bisa melakukannya melalui
berbuat kebaikan kepada orang lain yang membutuhkan.
Dalam Yesaya 60:1-3 dikatakan demikian:
"Bangkitlah, menjadi
teranglah, sebab terangmu datang, dan kemuliaan TUHAN terbit atasmu.
Sebab sesungguhnya, kegelapan menutupi bumi, dan kekelaman menutupi
bangsa-bangsa; tetapi terang TUHAN terbit atasmu, dan kemuliaan-Nya
menjadi nyata atasmu. Bangsa-bangsa berduyun-duyun datang kepada
terangmu, dan raja-raja kepada cahaya yang terbit bagimu." Ayat ini
menunjukkan sebuah pesan penting bahwa menjadi terang adalah sebuah
ketetapan dari Tuhan dan bukan merupakan pilihan. Ketika kita berfungsi
benar sebagai terang, maka dengan sendirinya kita harus berhadapan
dengan orang-orang yang datang kepada kita. Di lain waktu saya akan
membahas hal menjadi terang ini secara lebih detail. Tapi untuk saat ini
sadarilah bahwa anda ditetapkan sebagai terang oleh Tuhan, dan itu akan
mengharuskan kita untuk rela meluangkan waktu, tenaga, pikiran dan
berbagai bantuan lainnya untuk membantu orang-orang yang datang kepada
kita. Itu adalah sebuah konsekuensi yang harus kita syukuri dan jalani
dengan penuh sukacita. Jika ini kita tunda, itu sama saja dengan melepas
tanggungjawab yang telah ditetapkan Tuhan, dan itu tentu sesuatu yang
seharusnya tidak kita lakukan.
Tuhan sudah mengasihi kita dengan kasih setia yang begitu luar biasa
besarnya. Sekarang giliran kita, apakah kita mampu menyalurkan kasih
Tuhan yang ada dalam diri kita itu lewat kepedulian kita terhadap
sesama? Apakah kita sudah melakukan perbuatan baik kepada mereka yang
membutuhkan atau kita masih terus mengelak dan menunda-nunda untuk
melakukannya dengan berbagai dalih? Mari periksa diri kita, apakah ada
yang mampu kita berikan hari ini kepada mereka yang kesulitan, mereka
yang sebenarnya berhak menerimanya? Apakah itu untuk orang di lingkungan
kita, untuk kota, bangsa dan negara, periksalah kontribusi apa yang
bisa anda lakukan. Jika ada, jangan tunda lagi, lakukan hari ini juga.
by wawan sengkey